Sepotong Memori yang Tertinggal


"You ask me if I love you,
and I choke on my reply.
I'd rather hurt you honestly,
than mislead you with a lie."*

"Hey, bengong aja lo!", teriaknya dari depan pintu. Dia kemudian masuk kedalam lab dan menaruh laptopnya di meja seberang.

"Susah payah ortu lo jual sawah buat bayar uang kuliah, lo malah bengong2 aja kerjaannya.", ujarnya sambil mengeluarkan charger laptop dan memasangkannya ke terminal yang tak jauh dari tempat dudukku.

Aku tersenyum. Kata-katanya memang kasar, namun jujur. Aku melepas earphone dan meng-hibernate laptop. Tak lupa juga membereskan jurnal-jurnal yang berserakan di meja. Ada baiknya mengisi perut yang meraung-raung manja. Semoga ketika perut terisi, otakku juga kembali terisi dengan ilham untuk menyelesaikan permasalahan pada tugas akhirku ini.

"Yaelah, baru digituin aja ude ngambek. Lo mau pulang sekarang? Ga jadi nginep? Gue uda bela-belain malem-malem kesini nemenin lo. Bukan apa-apa ye, sebagai lelaki sejati, gue cuma ga tega aja liat cewek desa kayak lo nginep sendirian di kampus. Meski gue yakin, ga ada penjahat yang mau sama lo juga sih."

Aku tersenyum sambil menunduk malu. Meski bicaranya bak preman, hatinya Hello Kitty juga. "Aku nginep koq. Mau makan dulu, laper udah seharian belum makan.", kataku dengan nada sengak setengah berteriak. Bukan apa-apa, hanya gengsi dianggap ngambek.

"Jadi lo mau makan? Ngobrol dong. Gue lagi pengen Mie Jawa nih. Kalo lo mau, bisa nebeng gue. Klo ga ya terserah lo, tapi asal tau aja, kantin kampus sudah tutup malam-malam begini".

Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Apa susahnya sih, untuk bilang "Temani aku makan Mie Jawa yuk". Lelaki memang terkadang sulit dimengerti. "Yaudah, yuk. Laper nih.", ujarku sambil mengambil dompet dan handphone dari tas, dan membawanya keluar lab.

Kami berjalan menuju parkiran motor. Udara cukup dingin malam ini. Wangi tanah yang basah menandakan hujan turun cukup deras seharian tadi. Aku tak merasakannya karena terlalu konsentrasi mengerjakan Tugas Akhir di lab. Hujan menjernihkan langit, menampakkan puluhan bintang-bintang yang tampak jelas. Sebuah kejadian langka di langit Bandung.

"Nih."

Dia menyodorkan jaketnya ketika sampai di parkiran. "Knapa?", kataku.

"Seharian hujan. Udara malam ini dingin. Males aja klo bersin-bersin trus nularin gue. Badan cungkring kaya elo gitu kan gampang penyakitan."

Aku tertawa dan kemudian mencubit lengannya. "Sial kamu. Padahal adegan kayak gini kan harusnya romantis kalau di sinetron-sinetron.", kataku sambil memasang tampang manyun.

"Ngarep aja lo terus!", celetuknya.

Kami tertawa bersama.

Ini hanya perasaanku, atau dia baik sekali malam ini?

Atau memang dia selalu baik padaku, namun aku tidak pernah menyadarinya?

"For who am I to judge you,
in what you say or do.
I'm only just beginning,
to see the real you."*

bersambung ..

Ket:
*Sometimes when we touch - Dan Hill

Komentar