Dari tempat duduk kopaja

Terkadang saya malas jika harus menempuh perjalanan tempat tinggal ke kantor dengan naik kendaraan umum. Udara yang panas, waktu tempuh yang cukup lama, serta harus berdesak-desakan di dalam kopaja, menjadi satu dari sekian banyak faktor mengapa naik kendaraan umum di Jakarta tidak menyenangkan.

Post kali ini adalah salah satu cerita tentang bagaimana saya menikmatinya.

“I’m the one who wants to be with you, deep inside I hope you feel it too..”

Saya naik ketika 2 pengamen sedang bernyanyi dan memainkan gitar dan gendang. Saya pun bergumam dalam hati menyanyikan lagu Mr Big yang sangat akrab ditelinga. Kopaja saya hari itu tidak terlalu padat, sehingga bisa duduk dengan cukup nyaman. Saya memperhatikan sang supir, yang tampak sangat suntuk mencoba mencari celah untuk maju beberapa meter, beradu klakson dengan angkot yang juga berebut spot yang sama. Kopaja saya menang, murni karena badan yang lebih besar dan lebih berani untuk penyok saat bergesekan. Supir angkot marah, klakson ditekan panjang. Disamping kami, ada supir taksi dan seorang pengemudi sedan sedang beradu mulut sambil menunjuk-nunjuk jok belakang taksi. Tampaknya mobil sedan baru menabrak taksi dari belakang. Untunglah didepan sedang lampu merah, sehingga tidak ada yang terganggu dengan pemandangan ini. Atau mungkin pengguna jalan yang lain juga menyadari, namun terlalu apatis untuk melerai. Lampu merah ini pun terasa panjang..

“I don’t mind spending everyday, out of your corner in a pouring rain. Look for the girl, with a broken smile. Ask her if she wants to stay awhile…”

Supir kopaja merasa terganggu dengan pengamen yang terlihat semakin menikmati lagunya, tampak dari alunan gendang yang makin bersemangat, serta improvisasi vokal yang makin keren. Mungkin dia hanya iri karena pengamen ini sangat menikmati pekerjaannya, tidak seperti dia yang selalu stress sepanjang hari. Supir kopaja member tanda dengan tangannya untuk pengamen, agar berhenti.

Pengamen tidak melihatnya, dan terus berimprovisasi. Saya mengeluarkan uang dari dompet. Penyanyi menyodorkan bungkus Chitato. Saya menyerahkan duit seribu. Begitu juga penumpang disebelah saya, penumpang di depan saya, penumpang di seberang saya, dan cukup banyak penumpang dibelakang saya, yang saya ketahui dari ucapan “terima kasih” yang diucapkan terlalu sering.

“Terimakasih abang”, ujar pengamen.

Supir tidak menjawab, tidak menoleh, hanya melengos. Kemudian tersenyum kecut sambil memegang kepalanya. Mungkin dia mulai memikirkan untuk menjadi pengamen saja. Atau mungkin miris menghitung betapa banyak yang pengamen itu dapatkan dalam 10 menit melakukan hal yang menyenangkan. Dia tidak sadar, dia yang berjasa untuk mendatangkan uang halal bagi pengamen. Dia tidak sadar, karena dengan menyupir kopaja lah, orang-orang di dalam kopaja ini dapat bekerja dan memberi makan keluarga mereka. Andai saya punya keberanian lebih untuk mengatakan hal tersebut padanya….


“Build up, your confidence, so you can be on top for once.”

Jakarta oh Jakarta..

Komentar