Bicara tentang "Pulang", sebuah novel dari Leila S. Chudori




“I think we ought to read only the kind of books that wound or stab us. If the book we're reading doesn't wake us up with a blow to the head, what are we reading for?”
(Franz Kafka)

Quotes ini sangat menggambarkan perasaan saya selama membaca buku ini. It stabs me in many ways! Setelah membaca buku ini, saya merasa seperti salah satu dari sekian banyak tipikal anak muda Indonesia yang digambarkan dalam buku itu: hanya percaya sejarah yang diajarkan di sekolah, dan kurang menaruh perhatian terhadap politik, sejarah, dan sastra. Film-film G30SPKI dan tugas essay yang dijejalkan setiap tahun ketika SD, diorama-diorama di museum, kekaguman berlebihan terhadap presiden saat itu, semua menjadi aneh jika diingat-ingat. Mengutip ucapan Winston Churcill, “History is written by the victors”, buku ini memberikan sisi lain dari sejarah yang selama ini dijejalkan kepada saya. Membuat saya lebih berhati-hati dalam men-judge segala sesuatunya.

"Rumah adalah tempat dimana aku bisa merasa pulang"Dimas Suryo - Tokoh dalam novel Pulang

Saya berulang kali menutup buku dan membayangkan menjadi Dimas Suryo, seorang eksil politik di Prancis, yang mencium aroma cengkih dan kunyit sambil melamun membayangkan kapan ia bisa kembali ke Indonesia. Dimas tidak memilih sebuah ideologi politik tertentu, dia hanya berkawan dengan Hananto Prawiro dan bekerja di Kantor Berita Nusantara yang dianggap “kiri”. Ketika kerusuhan G30SPKI pecah, dia sedang mewakili kantor menghadiri acara di Santiago, Havana, dan Peking. Seketika dia mendapat cap “PKI” dan paspor Indonesianya dicabut. Hidupnya berubah 180 derajat.

Prancis kala itu ramah terhadap para eksil politik. Bersama ketiga temannya Risjaf, Tjai, dan Nugroho, yang juga tidak memiliki kewarganegaraan Indonesia lagi, Dimas menetap di Terre d’Asile, tanah suaka di Paris. Untuk bepergian, mereka memperoleh Titre de Voyage, atau surat perjalanan, yang dapat mereka gunakan ke Negara manapun di dunia kecuali Indonesia. Hanya berbekal kemampuan sastra dan penulisan di Prancis, Negara yang sangat terkenal akan sastranya, bukanlah sebuah nilai tambah. Masing-masing orang harus berjuang untuk hidup, dari menjadi buruh di restoran, klerek di bank, sampai kepada kurator di galeri seni kecil. Ketika demo memprotes pemerintah Prancis sedang marak, Dimas bertemu Vivienne Deveraux, seorang mahasiswa Sorbonne yang ikut berdemo. Disaat yang bersamaan, Hananto ditangkap dan dibunuh di Indonesia. Dimas kemudian menikah dengan Vivienne dan memiliki anak bernama Lintang Utara. Nasib sedikit berubah ketika bersama keempat rekannya, Dimas mendirikan restoran Indonesia bernama “Tanah Air”, yang sangat sukses di Prancis.

Cerita tidak hanya sampai disitu. Banyak sekali konflik yang mewarnai buku ini. Mulai visa Dimas untuk mengunjungi Indonesia yang selalu ditolak setiap tahun, persepsi orang Indonesia terhadap eksil politik sejak Orde Baru menerapkan program “Bersih Diri” dan “Bersih Lingkungan”, ketakutan saat menghadapi “telunjuk”, rasa rindu dan bersalah terhadap keluarga yang ditinggalkan di Indonesia, ekonomi yang pas-pasan, sampai konflik rumah tangga yang mengisi hari-hari mereka. Hidup di negeri orang memang berat, apalagi hidup di negeri orang dan diasingkan oleh bangsa sendiri. Membaca bagian ini membuat saya menutup buku sejenak dan bersimpati terhadap Dimas Suryo dan ketiga rekannya.

Sudut pandang cerita kemudian beralih ke Lintang Utara, anak Dimas Suryo yang sedang menempuh tugas akhir di Sorbonne. Gabungan kecerdasan, sifat kritis turunan ayah ibunya, dan pendidikan Sorbonne membuat Lintang menjadi anak yang kritis dan selalu ingin tahu. Tugas akhirnya membuat Lintang harus mengunjungi Indonesia, separuh tanah airnya, untuk mewawancarai keluarga orang-orang yang dianggap eks-tapol. Meskipun mereka tidak ada kaitan sama sekali dengan orang yang dianggap tapol (dan anggapan “tapol” yang rancu), namun mereka mendapatkan trauma yang luar biasa: interogasi, dilarang bekerja di pemerintahan, hidup dimata-matai, dan kehilangan anggota keluarga. Seakan latar belakang sejarah ini tidak cukup, kunjungan Lintang terjadi ditengah-tengah kerusuhan Mei 1998.

----


Setelah membaca buku ini, saya menjadi lebih tertarik untuk melihat sejarah Indonesia dari sisi yang lain. Ingin lebih banyak menggali penuturan dari sisi yang selama ini dianggap sebagai pihak yang salah. Tidak untuk menghakimi, namun untuk berempati kepada nasib mereka yang “kurang beruntung”. Buku ini sangat membuka wawasan dan sudut pandang, dan merupakan buku terbaik yang pernah saya baca sepanjang tahun 2013.


Diclaimer: Ulasan ini hanyalah pendapat seorang pembaca buku yang cukup naïf dan awam sejarah.

Komentar