Job Fair: The Irony


Job fair ITB, 14-16 Oktober 2011.

Entah berapa ribu orang mengosongkan jadwal mereka untuk even ini. Saya yang temporary berada di Jakarta pun mengosongkan weekend ini untuk sekedar menengok Job Fair di Bandung, kota tersayang tempat saya menghabiskan 4 tahun terakhir. Sejak tingkat 3, saya memang hobby mendatangi Job Fair, sekedar bertanya mengenai peluang kerja di perusahaan, ataupun melamar internship. Saya akui, the pressure is on, ketika Anda datang ke Job Fair untuk mencari kerja. Mata Anda lebih jeli melihat ke stand perusahaan-perusahaan incaran, Anda secara otomatis memetakan persaingan, dan juga waktu yang dihabiskan disetiap stand jauh lebih lama dari tanya-tanya bodoh yang Anda lakukan ketika belum lulus kuliah. Karena saat itu dalam pikiran Anda, toh, ya masih ada Job Fair berikutnya.

Suasana Job Fair Oktober kali ini benar-benar sumpek. Terlalu banyak orang dalam satu gedung Sabuga (yang sangat besar). Meski 15 ribu dikenakan sebagai tiket masuk, toh tidak mengurangi antusiasme orang untuk datang. Di tengah venue, terdapat antrian mengular untuk drop CV dan isi database perusahaan yang mengklaim sebagai FMCG terbesar di Indonesia. Ironis adalah, dari berjam-jam antrian, hanya sekitar 30 detik waktu yang dihabiskan untuk mengisi database+drop CV. Ironis lagi adalah, meski telah diperingatkan untuk mengantri lebih sore (supaya lebih sepi), orang-orang tetap mengantri dengan kokoh. Saya beruntung karena datang tepat ketika talkshow akan berakhir, sehingga hanya perlu mengantri sekitar setengah jam sampai kedepan (ya, ini cukup beruntung). Hati ini sesak ketika menulis nomor urut pendaftar ke 700an. Saya mengisi sekitar pukul 12 dan hari masih panjang. Kata kenalan saya yang kebetulan ikut menjaga stan perusahaan tersebut, kemarin ada 700an pendaftar. Coba hitung berapa orang yang memiliki mimpi yang sama dengan saya dalam 3 hari tersebut. Bandingkan dengan kebutuhan perusahaan yang tidak mencapai 50 orang. Jangan lupa bahwa gelombang pendaftar juga akan menyerbu lewat jalur pendaftaran online. Ironis? Ya. Tapi mimpi itu tetap ada, toh tidak ada salahnya?

Antrian yang sama juga terjadi di rekrutmen bank-bank, dan juga that famous oil service company that offers adventure and fresh money at the same time -- everyone's dream. I applied once last year and failed in the physics test, as expected :D

Ironisnya lagi ketika saya bertemu beberapa teman dan kakak kelas saya, yang sudah bekerja, dan ikut mendaftar. "Mencoba peruntungan" kata mereka. "Mencari pekerjaan lain yang lebih cocok" kata yang lain. Saya membayangkan mereka yang melepas kerjaan lama demi kerjaan yang lebih baik. Tidak salah, semua orang menginginkan yang terbaik dalam hidupnya. Saya hanya membayangkan jika saya menjadi salah satu orang yang sangat menginginkan posisi mereka yang lama. Tidak rela rasanya kepercayaan yang diberikan dihianati begitu saja demi tawaran yang lebih baik. Dan saya tidak munafik bahwa saya mungkin akan melakukan hal yang sama bila ada di posisi mereka.

Fakta baru yang saya temukan adalah, sebagian besar teman saya, apply secara random ke banyak perusahaan, bahkan belasan perusahaan, dan berharap ada satu saja yang menerima mereka. Tidak salah, karena menganggur itu membuat stress. Kurang benar, karena melakukan pekerjaan yang tidak disenangi akan mengurangi performansi dan akhirnya keluar.

Malamnya, saya mengobrol dengan teman sekelas jaman SMA, yang dulunya memiliki mimpi dan idealisme yang sama, yang sama-sama berjuang mati-matian memasuki universitas (yang katanya) terbaik di Indonesia: UI dan ITB. Selama kuliah kami memegang teguh idealisme, mengkritik sistem yang kami anggap tidak sesuai, mencoba hal2 baru dan pengalaman baru, membaca apa saja, dan lulus dengan keyakinan yang tinggi tentang apa yang ingin kami lakukan dengan hasil menimba ilmu dan begadang mati-matian selama 4 tahun.

Sampai kami harus menerima kenyataan.

Dimana bahwa perusahaan impian kami ternyata tidak sebaik yg kami kira, atau kami yg tidak cukup baik untuk masuk disana, atau bahkan perusahaan tersebut tidak menerima lowongan. Kebingungan untuk memilih perusahaan yg maju dan berkembang, mengabdi pada negara, atau start our own company. Impian untuk bekerja di bidang yang sesuai dengan kompetensi kami, namun dihalangi oleh remunerasi yg tidak memadai maupun jalan kotor untuk menuju kesana.

Kami dari disiplin yang sangat jauh berbeda dan memiliki masalah yang sama.

Namun kami tidak ingin tenggelam dalam ketakutan. Kami sepakat bahwa kuncinya adalah satu kata: Jalani.

Tidak cocok ya pindah. Ingin sukses ya berusaha. Gausah menyalahkan keadaan.

Komentar