Saya lupa kapan saya kali pertama mendengar tentang Salihara, hanya saja, sudah sejak lama saya penasaran akan tempat ini. Dan akhirnya baru Sabtu kemarin, saya memiliki kesempatan untuk kesana.
Pada September-Oktober 2011, Komunitas Salihara menggelar Bienal Sastra, atau dalam bahasa internasionalnya "Literary Biennale" untuk kali keenam, dengan mengusung tema "Klasik nan Asyik". Saya tahu ini, karena sudah cukup lama saya follow infonya di Twitter. Rasa keingintahuan pun menggebu-gebu, namun tidak ada orang yang bisa diajak kesana. Barulah sabtu kemarin teman AFS saya meretweet salah satu post tentang Salihara. Tidak ingin membuang kesempatan, saat itu juga saya mengajak dia untuk pergi kesana. Akhirnya! :)
Tempatnya jauh lebih modern dari bayangan saya. Secara satu2nya tempat seni yang pernah saya kunjungi ya Gedung Cak Durasim di Surabaya. Ternyata setelah baca2, gedung komunitas Salihara dirancang oleh 3 arsitek yang berbeda, untuk gedung galeri, teater, dan perkantoran. Di depannya terdapat Kopi Tiam Oey, punya Bondan Winarno. Menurut saya, meski tidak terlalu besar, namun markas komunitas Salihara ini sangat nyaman dipakai untuk kegiatan seni dan edukasi, sangat inspiratif :)
Acara yang pertama saya datangi adalah diskusi buku "Matinya Seorang Atheis" karya Zaim Rofiqi. Sayang sekali Ulil tidak dapat hadir karena ada tugas mendadak ke Beijing, namun diskusi yang dibawakan Zen Hae dan ... aduh saya lupa namanya, sangat menarik, dan membuka wawasan saya tentang bagaimana bedah buku sastra dilaksanakan. Sebelumnya saya beberapa kali menghadiri bedah buku pengarang favorit saya. Namun dengan selimut sastra, diskusi menjadi lebih "berat" karena yang dibahas bukan hanya isi dari bukunya, namun pemikiran apa yang mendasari gagasan penulis dalam buku tersebut. Sore itu saya belajar tentang Jorge Luis Borges, menggali pemahaman saya tentang sejarah Nabi Muhammad, mengingat kembali karya Shakespeare dan Chairil Anwar, dan membangkitkan minat saya untuk lebih banyak membaca. Saya mengikuti diskusi dengan penuh kekaguman dan perhatian (maklum pengalaman pertama), sembari melihat disekitar, penasaran akan wujud para pecinta Sastra (yang sangat beragam, diluar bayangan saya). Salah satu kritik yang paling saya ingat adalah ketika kita menulis sebuah buku, kita harus sangat memperhatikan waktu dan latar cerita. Satuan ukur "kilometer" tentu tidak akan digunakan pada jaman2 sebelum masehi, dan "warta" mungkin lebih cocok digunakan ketimbang "informasi". Bahwa tulisan yang baik adalah tulisan yang dapat membuat pembaca larut didalam konflik didalamnya, tanpa sadar bahwa mereka telah terhanyut. Bahwa memunculkan humor satir dalam sebuah tulisan itu tidak mudah. Bahwa sebelum menjadi penulis, kita perlu banyak riset, membaca, dan diskusi :)
Satu fakta yang tidak penting, diskusi buku ini mengingatkan saya pada "philosopher's night" yang digagas oleh Host Dad saya, seorang profesor dalam bidang filsafat, ketika saya mengenyam program pertukaran pelajar di Amerika selama setahun. Setiap hari rabu, beberapa orang yang berminat, berkumpul di rumah untuk membedah karya2 Plato dan Socrates (dan tentu beberapa filsafat lain yang namanya tidak familiar). Sayang ketika itu saya hanyalah seorang anak SMA polos yang ikut2an membaca Socrates dan Plato karena "kata2nya bagus untuk dijadikan quotes", oh well :D
Pembawa acara diskusi ini adalah Ayu Utami. Berbeda dengan yang selama ini saya bayangkan. Aura mbak Ayu sungguh luar biasa. Tidak kalah keren dengan buku2 yang ditulisnya :) Dalam diskusi ini, my heart skips a beat ketika melihat sosok Goenawan Moehammad yang selama ini hanya bisa saya baca karyanya. Beliau ada. Ikut menyumbangkan ide dalam diskusi ini. Mendadak saya merasa beruntung. Kebahagiaan terbesar bagi seorang pembaca adalah melihat langsung penulis idola mereka. Hari itu saya melihat 3 orang sekaligus.
3 orang? Ya, salah satunya adalah Clara Ng, orang yang bahkan namanya saya tulis sebagai pengarang favorit saya dalam "about me" blog ini ;) Clara Ng membacakan salah satu cerpennya yang berlatar India, berjudul "Moonsoon" dengan penuh penghayatan. Oh iya, Clara membawakannya dalam pentas "Cerita Nusantara dalam Bahasa Indonesia dan Daerah" bersama 2 penulis cerpen lain di Teater Salihara pada malam harinya. Linda Christanty, sastrawan sekaligus jurnalis, membawakan salah satu cerpennya tentang Afghanistan, yang membuat kita seakan2 berada disana dan menyaksikan adegan yang dimaksud. Yusi Pareanom membacakan bagian dari novelnya dengan kocak, yang membuat saya ingin membeli bukunya karena penasaran :)
Penampilan yang tidak kalah menarik adalah pembacaan cerpen "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan" karya Umar Kayam dalam 4 bahasa daerah. Bahasa Bali, Madura, Batak Toba, dan Minang terdengar malam itu. Saya yang cukup mengerti bahasa Minang, merasakan bahwa menterjemahkan sebuah karya sastra dalam bahasa berbeda, sangatlah susah. Terlebih dalam bahasa daerah, yang oleh banyak kalangan dianggap sudah ketinggalan jaman dan tidak dapat menyaingi perkembangan bahasa pergaulan. Malam itu, adalah salah satu bukti dimana sebuah karya sastra modern ternyata tetap terdengar indah dalam bahasa daerah kita :) Onde Mande!
After All, Saya sangat puas dan merasa tercerahkan pada Sabtu malam ini. Saya juga bersyukur dapat merasakan sebuah pengalaman baru, yang mungkin belum akan saya dapatkan di kota2 lain. Jelas akan ada kunjungan2 berikutnya ke Salihara, dan menambah rasa ingin tahu saya tentang kehidupan budaya di Jakarta. Selanjutnya mungkin, Taman Ismail Marzuki? Ada yang bersedia menemani? :)
Pembicara selain Zen Hae adalah A.S. Laksana, mbak, salah satu penulis terbaik Indonesia saat ini. Ia dan Yusi juga menjadi pengajar Bengkel Penulisan Novel DKJ.
BalasHapusTerimakasih atas infonya mas :)
BalasHapus