Hari minggu. Sedang enak-enaknya tidur, HP saya berbunyi. Saya terlalu malas untuk mengangkatnya, “Nanda Erian” nama yang tertulis di layar. Masih jam 5 pagi, kami janjian jam 7, saya pun tidur lagi (dasar pemalas). Satu jam kemudian, Gorby menelpon, “Kita udah deket nih, mau dijemput ga?”. Mungkin memang sudah saatnya bangun. “Ketemu di bundaran HI saja”, kata saya. Padahal lebih enak dijemput, apa daya mata baru terbuka.
Ketika saya datang, yang lain baru “berlari” satu putaran. Saya tidak percaya mereka berlari, tapi ya, tidak ada gunanya berdebat di pagi yang cerah ini. Seluruh jalur di Car Free Day ini tertutup untuk kendaraan pribadi, hanya busway yang boleh melintas. Jalan Thamrin ternyata besar sekali ya, saking seringnya jalan ini macet (oh, oke, selalu maksud saya), jadi terasa kecil.
Jalur lambat di Car Free Day dipergunakan oleh orang-orang pejalan kaki, atau pelari pemalas seperti kami. Kadang perjalanan terhenti atau harus berbelok sedikit dikarenakan ada yang sedang berfoto, atau berkumpul di pinggir jalan bercengkrama. Tidak apa-apa toh semua senang, semua riang :) Jalur cepat diisi dengan pengguna sepeda, segway, otoped, skateboard, dan lain sebagainya. Yang kecepatannya lebih cepat dibanding kita lah. Senang rasanya melihat berbagai macam kehidupan dan jenis di Jakarta ini. Aura bahagia dan akrab sepertinya ditularkan ke semua yang ada di CFD pagi ini. Berarti benar warga Jakarta memang butuh hiburan untuk melepaskan diri dari kepenatan sehari-hari, dan CFD ini merupakan sarana yang cukup ampuh menurut saya. Apalagi, tempat ini cocok untuk seluruh anggota keluarga dari berbagai usia.
Bergaya di CFD
Bundaran HI merupakan hotspot pagi ini. Banyak sekali orang
yang sekedar duduk-duduk di tepinya, berfoto, atau memakan jajanan yang di
jajakan di seputaran kolam. Jajanannya pun cukup beragam, mulai dari rangin,
kue cubit, otak-otak, cilok, dan lain sebagainya. Kami yang mayoritas orang
Jakarta, tetap bertindak udik dengan ikutan berfoto. Yah, ini CFD pertama bagi
sebagian besar dari kami (termasuk saya). Jadi, layak dong didokumentasikan :)
Rute selanjutnya adalah Nasi Uduk
Kebon Kacang. Awalnya berdebat tentang yang mana nasi uduk yang asli diantara 2
nasi uduk terkenal di jalan yang sama. Ternyata dua-duanya ga buka. TER-LA-LU,
mengutip lagunya Bang Rhoma (apa coba?). Jadilah kami dengan keimpulsifan super
kembali ke parkiran mobil di Sevel (nama gaul dari Seven Eleven) GI, mengambil
mobil, dan meluncur ke bubur ayam Menteng.
Namanya bubur ayam H. Jiwo di Jl
Tanjung. Konon katanyaa, alm Pak Harto suka banget makan disini. Bubur ayamnya
seperti bubur ayam Mang Oyo di Bandung. Tidak usah pake kuah, kecap, atau
sambel, rasanya sudah kaya. Apalagi irisan ayam dan remesan kerupuknya mantab.
Yah worth it untuk dihargai 13ribu
seporsi (harga bubur ayam enak di belakang kantor saya di Kuningan Rp 6.000,00.
Itu udah enak. Tapi ya beda sih, yg Pak Jiwo ini enak banget). Penjualnya juga
kreatif, sekalian bawa cooling box
buat jual teh botol. Praktis. Dia juga bawa 1 cooling box lagi untuk jualan Susu Kedelai. Kami menyebutnya SuKed,
biar agak gaul (Suket dalam bahasa jawa artinya rumput). Ternyata penjualnya
menimpali dan ternyata produknya seharusnya disebul SuLe (Susu Kedele). Koq
saya jadi random ini nulisnya.
Komentar
Posting Komentar
Thank you for reading this, your comments means a lot to me. For ASAP answer, you can poke me on my Instagram @vannyerliana :)